MENGEMBARA
Roda terus berputar waktu terus berjalan dan manusia selalu berfikir. ‘’Hidup
itu rumit! Bagai berjalan di dinding labirin! Bayangan itu sering bermain dalam
angan yang berkepanjangan. Sudah cukup lama Aku berada di sini, sudah hampir sebulan
diriku mengembara di lereng gunung Becici. Di sebuah desa yang masih sejuk jauh
akan polusi. ‘’Aku dapat melihat rumput, rumput, dan rumput. Rumput alami bukan
bentukan manusia. ‘’ Jalan yang berliku dan mendaki. Tak beraspal. Becek dan
berlumpur. Apalagi musim hujan bagai kubangan lembu ketika membajak sawah. ‘’Mata
hati ini sudah terlalu lama memandangi itu semua.’’ Entah apa yang akan
kulakukan. Sinar mataku menerobos awang-awang. Sudah berkali-kali ku coba
membuka inspirasi, namun hasilnya nihil!
“ Jun” panggil seseorang. Hati kecilku merasa tergugah dengan suara
yang tiba-tiba terdengar di telingaku. “Jun…” panggil suara itu lagi. Sekarang,
hati kecilku menghendaki tuk menjawabnya. Dengan suara yang pelan, Aku
memberanikan diri menjawab suara itu.“Kakek Jamal? Ada apa kakek memanggil
namaku?” “Jun… sekarang, jika kau ingin inspirasi mu terwujud, dengarkanlah petuah kakek!” ujar kakek Jamal.
Sebelum Kakek lanjutkan, kakek mau bertanya padamu, nak! Selama nak Jun
menggembara di desa ini, apa yang membuat hati mu tergugah?
‘‘Hemmm...Jun langsung menjelaskan dari pertanyaan Kakek Jamal. Di
sinilah ditemukannya prihatin, keganjalan, dan kekaguman, ulas Jun. ‘’Maksud
dari prihatin, keganjalan, dan kekaguman itu apa?’’ujar Kakek Jamal.
‘‘Prihatin itu bisa dilihat dari beberapa masyarakat yang bagun jam
2.00 pagi untuk siap-siap ke pasar. Contohnya ya si simbok Parinem. Meski di
usia 70 tahun beliau masih kuat mengayuh sepeda onthel, dengan membawa sayuran
ke pasar patang puluhan. Ya kira-kira 2 jam tempuh. Meski naik turun gunung
panas terik dan hujan rintik tak dihiraukan. Demi mencukupi kebutuhan
sehari-hari tuk menyambung hidup. ‘’Tak seperti anak muda sekarang kuliah jarak
10 langkah saja naik motor,’’ Kek. Ckckckck...bisa dilihat juga sebagian masyarakat
jalan kaki mengangkutin air dengan jarak yang lumayan jauh dari rumahnya,
itupun diambil dengan cara antri dan menunggu mata air keluar banyak. Desa yang
berjajar pohon-pohon tinggi ini yang punya sumur bisa dihitung dengan jari.
Bagi yang melihat pasti akan menitikkan air mata. Ada juga yang mengambil air
itu tengah malam. Malam dengan udara dingin mencekam, adanya bunyi jangkrik dan
bunyi burung suwek mori. Siang harus banting tulang ke sawah. Gelap, gelap, dan
gelap. Gelap tanpa ada penerangan jalan. Jam-jam segitu kebanyakan orang sudah
leyeh-leyeh dengan selimutnya. Selain itu, anak-anak berangkat dan pulang harus
jalan kaki, naik turun gunung terkadang nyeker men (tanpa sepatu dan sandal
maksudnya he..he..he..). Pulang sekolah keringat belum kering, sudah meluncur
ke alas. Mencari kayu bakar tuk membantu orang tuanya. Tak hanya itu aja.
Anak-anak di desa ini jarang yang melanjutkan sekolah, karena tak punya biaya.
Padahal, masa depan mereka masih panjang. Rumah-rumah warga masih terbuat dari
kayu dan lantainya masih tanah. Tidur pun hanya beralaskan tikar. Bagi
orang-orang yang rasa empatinya mencuat pasti akan mengelus dada. Itu yang
namanya prihatin menurut saya, kek.’’
‘Kakek Jamal menjadi imam baik shalat fardhu, shalat tarawih dan
shalat id. Dan itu pun dilakukan tidak hanya sekali dua kali. Sudah 60an tahun
kakek menjadi imam. Meski sudah tua renta dengan pelipisnya yang sudah nampak 3
garis, masih kuat berdiri menjadi imam. Menjadi pertanyaan besar, pemuda-pemuda
menolak menjadi imam. Menjadi keganjalan saya adalah alasan para bapak dan
pemuda yang lain itu apa? Apa mereka tidak kasihan melihat kakek yang sudah
berusia 80 tahun?? Padahal kalau di kota-kota menjadi imam itu digilir. Tapi ini benar-benar aneh dan nyata....
‘Di desa Punthuk sebelah Barat Gunung Becici, ada sebuah kegaguman
yang mendalam. Rasa gotong royong yang tinggi dan peraturan yang disepakati
bersama sangat ditegakkan. ‘’Pemuda
klayapan (main) di rumah pemudi lebih dari jam 21.00 tanpa izin ketua RT setempat,
akan dikepung warga dan dinikahkan.’’ Begitu juga dengan pemudi-pemudi sebelum
Maghrib harus sudah di rumah.
‘’Entah sampai kapan, kehidupan di desa ini akan segera membaik.;;
*jrengggg*
‘‘Selintas kemudian kakek mengangguk tanda mengerti akan maksud dari
uneg-uneg ku selama ini.’’ ‘‘Nak, kau wanita yang tangguh. Meski lama terpisah
dari orang tua mu, kegigihan mu tuk berjuang menjadi sesosok manusia yang
bermanfaat masih kukuh.’’ Pengembaraan mu akan terwujud dengan tekad cinta yang
kuat. Dengan kegilaan yang mendalam, kata kakek.’’
Ku berusaha mencerna apa yang disampaikan kakek. Memang butuh
orang-orang yang dibenci pemerintah dan disayang rakyat sepertinya. Modal nekad
dalam pengembaraan ku tak berhenti sampai di sini. Harus cepat mengambil langkah.
Tak ada kata terlambat dan gagal.
Yah planing pertama segera ku luncurkan tuk menemui orang besar di
Bantul ini.. bupati lah yang ku temui. Dini hari ku kayuh sepeda onthel hendak
memberanikan diri menemui orang besar. Orang besar pasti ditemui susah dan
harus antri sesuai prosedur..dingin dingin dingin, beeerrrr! Dingin yang menusuk kalbu, namun ku retas
demi tercapainya mimpi.
Ternyata susah nian beretmu sang idola satu kabupaten. Lunglai sudah
pulang dengan hampa.
Namun ku tak boleh menyerah demi mimpi yang sudah menganga. Ku tidak
ingin sama dengan ank-anak asli daerah sini, tamat SD nikah…..kalau tidak nikah
ya bekerja atau di pesantren. Hemmm,
berfikir panjang seperti kail yang diulur panjang. Ku berusaha bertemu Kepala
sekolah SMA salah satu SMA negeri di kecamatan ini. Yes, berhasil menemuinya
beliau orang yang baik, harusnya ku bayar pendaftaran masuk ternyata atas izin
Allah dapat beasiswa sampai lulus.
Super duper pokoknya keajaiban terjadi. Kelas tiga sembari menanti
pengumuman lulus, ku sempatkan baca koran di perpustakaan, padahal selama ini
tidak pernah menyentuh yang namanya koran. Eh, ada informasi kalau ada beasiswa
di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Jogja kalau ada beasiswa. Segera ku
buru syarat-syarat pendaftaran..berikhitar dan berdoa dengan skenario Allah
lolos.
Selama Kuliah asyik, naik sepeda onthel selama tiga tahun demi
mengejar mimpi. Lagi lagi keajaiban terjadi ada beasiswa lanjut S2 dan lolos
kembali. Alhamdulillah…
Ternayata pesan kakek benar-benar manjur, manjur dan manjur..kalau mau
prihatin dan berjuang serta menolong agama Allah, Allah akan menolong. Pengembaraan ku kini tak sia-sia bisa
mengabdi di desa barat Gunung Becici. Allahu Akbar..
0 komentar:
Posting Komentar